.

.
.

Tuesday, 1 October 2019

Memasyarakatkan Alkitab atau meng(al)kitabkan masyarakat? :: essays research papers

Memasyarakatkan Alkitab atau meng(al)kitabkan masyarakat? Tantangan dan Kesempatan bagi metode BGA dalam konteks kelisanan dan keberaksaraan Makalah ini disajikan dalam salah satu sesi dalam pelatihan Tim Pelayanan Proyek Philadelphia (TP3) pada tanggal 26 Juli 2004, di Wisma Anugerah, Cisarua, Bogor. Pengantar Makalah ini merupakan bentuk konkretisasi dari refleksi saya berdasarkan berbagai pergumulan berteologi serta pengalaman melayani dalam pembinaan BGA serta berdasarkan karya sehari-hari sebagai anggota staf penerbitan Yayasan PPA. Sebelumnya saya pernah menyusun dan menyajikan beberapa renungan dan makalah yang telah saya sajikan dalam berbagai pertemuan internal PPA. Perkembangan serta perubahan pemikiran saya setelah saat-saat tersebut kini tertuang dalam makalah ini.   Ã‚  Ã‚  Ã‚  Ã‚  Melalui judul dari makalah ini, saya ingin menunjukkan bahwa masih ada beberapa kebijakan, pemikiran, dasar ideologis-teologis dll. yang berkaitan dengan metode BGA, yang masih perlu diperjelas. Judul dari makalah ini menyiratkan salah satu dari beberapa pilihan yang harus diambil: memasyarakatkan Alkitab atau justru meng(al)kitabkan masyarakat. Tujuan makalah ini adalah untuk mengajak kita memikirkan pertanyaan-pertanyaan seperti ini, serta pendapat saya tentang jawaban-jawabannya bagi pertanyaan-pertanyaan tersebut. Mencari udang di balik batu: Konteks keberaksaraan, kelisanan, dan kemajemukan media dalam gaya hidup orang Indonesia Ada banyak istilah yang digunakan orang untuk menjelaskan kemampuan seseorang untuk membaca dan menulis. Ada yang menggunakan istilah melek huruf, keaksaraan, keberaksaraan dll. Dalam makalah ini, saya akan menggunakan istilah  ¡Ã‚ ®keberaksaraan ¡Ã‚ ¯ untuk menunjuk kondisi masyarakat yang secara umum didasarkan pada kemampuan membaca dan menulis, dan  ¡Ã‚ ®melek huruf ¡Ã‚ ¯ untuk kondisi seseorang. Untuk kondisi seseorang yang tidak mampu membaca dan menulis saya menggunakan istilah  ¡Ã‚ ®buta huruf ¡Ã‚ ¯, sementara  ¡Ã‚ ®kelisanan ¡Ã‚ ¯ menunjuk kepada kondisi masyarakat yang lebih didominasi oleh ujaran verbal ketimbang teks tertulis. Saya juga ingin memperjelas makna dari satu istilah yang saya gunakan dalam makalah ini. Mengikuti definisi yang digunakan oleh UNESCO,  ¡Ã‚ ®buku ¡Ã‚ ¯ atau  ¡Ã‚ ®kitab ¡Ã‚ ¯ adalah bahan cetak yang terdiri dari 49 halaman atau lebih, tidak termasuk halaman sampulnya. Menurut Susenas/Statistik Pendidikan, proporsi penduduk buta huruf usia 10 tahun ke atas adalah sebagai berikut: Jenis Kelamin  Ã‚  Ã‚  Ã‚  Ã‚  Kota  Ã‚  Ã‚  Ã‚  Ã‚  Desa  Ã‚  Ã‚  Ã‚  Ã‚  Kota dan Desa Pria  Ã‚  Ã‚  Ã‚  Ã‚  3.76  Ã‚  Ã‚  Ã‚  Ã‚  10.32  Ã‚  Ã‚  Ã‚  Ã‚  7.52 Wanita  Ã‚  Ã‚  Ã‚  Ã‚  9.44  Ã‚  Ã‚  Ã‚  Ã‚  20.17  Ã‚  Ã‚  Ã‚  Ã‚  15.54 Pria dan Wanita  Ã‚  Ã‚  Ã‚  Ã‚  6.63  Ã‚  Ã‚  Ã‚  Ã‚  15.53  Ã‚  Ã‚  Ã‚  Ã‚  11.55 Beda Wanita Pria  Ã‚  Ã‚  Ã‚  Ã‚  5.68  Ã‚  Ã‚  Ã‚  Ã‚  9.85  Ã‚  Ã‚  Ã‚  Ã‚  8.02 Angka ini bisa kita bandingkan dengan tabel keberaksaraan penduduk dunia menurut wilayahnya yang ada di bawah ini. Secara sekilas, kelihatannya taraf keberaksaraan penduduk Indonesia, termasuk umat Kristen di dalamnya, telah mencapai angka yang cukup menggembirakan. Kita dapat mengandaikan bahwa penduduk Indonesia beragama Kristen (yang pada tahun 2000, demikian menurut LP3ES, berjumlah 17.954.977 jiwa atau 8,92% dari keseluruhan jumlah penduduk ) juga memiliki persentase keberaksaraan yang kurang lebih sama dengan komponen penduduk Indonesia lainnya. Bila angka-angka ini benar, maka kelihatannya tersedia ladang yang cukup besar bagi pelayanan pencetakan Alkitab serta literatur penyertanya (sekitar 15 juta jiwa orang Kristen yang dikategorikan tidak buta huruf).

No comments:

Post a Comment